BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia dipermukaan bumi ini, seiring
itu pula keberagaman persoalan muncul silih berganti seolah tidak pernah
habis-habisnya, seperti konflik, kekerasan, pertumpahan darah, dsb. Itu belum
lagi problematika alamiah seperti bencana alam; gempa bumi, tsunami, meletus
gunung api, tanah longsor, banjir, badai topan, dsb. Keberagaman peristiwa dan
pengalaman yang menakutkan tersebut, selain telah memporak-porandakan kondisi
fisik lingkungan hidup, juga merusak ketahanan fungsi mental manusia yang
mengalaminya, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam waktu yang
singkat dan jangka panjang. Gambaran peristiwa dan pengalaman yang demikian
dinamakan dengan trauma.
Berbedanya
gejala trauma dalam realitas yang dihadapi manusia perlu ditangani secara bijak
oleh para ahli atau masyarakat secara utuh. Karena itu dengan terdeteksinya
gejala-gejala awal dari suatu peristiwa trauma, maka akan memudahkan kita dalam
upaya pemberian bantuan (konseling) secara baik dan kontinyu. Dalam melakukan
konseling traumatik, keberadaan konsep deteksi awal akan menjadi hal yang
penting untuk dipahami dan diperhatikan oleh pemberi bantuan sehingga tergambar
berbagai sifat atau jenis trauma yang diderita korban, seperti trauma ringan,
sedang dan berat. Namun, tidak semua peristiwa atau pengalaman yang dialami
manusia itu bermuara pada trauma. Biasanya kejadian dan pengalaman yang buruk,
mengerikan, menakutkan atau mengancam keberadaan individu yang bersangkutan,
maka kondisi ini akan berisiko memunculkan rasa trauma. Sementara, peristiwa
dan pengalaman yang baik atau menyenangkan, orang tidak menganggap itu suatu
kondisi yang trauma.
Kondisi trauma (traumatics)
biasanya berawal dari keadaan stres yang mendalam dan berlanjut yang tidak
dapat diatasi sendiri oleh individu yang mengalaminya. Stres adalah suatu
respon/reaksi yang diterima individu dari rangsangan lingkungan sekitar, baik
yang berupa keadaan, peristiwa maupun pengalaman–pengalaman, yang menjadi beban
pikiran terus menerus dan pada akhirnya bermuara pada trauma. Untuk
menanggulangi keberlanjutan trauma sejak kanak-kanak hingga dewasa, kiranya
perlu segera dilakukan upaya deteksi dini. Bila keadaan trauma dalam jangka
panjang, maka itu merupakan suatu akumulasi dari peristiwa atau pengalaman yang
buruk dan memilukan. Dan, konsekuensinya adalah akan menjadi suatu beban
psikologis yang amat berat dan mempersulit proses penyesuaian diri seseorang,
akan menghambat perkembangan emosi dan sosial individu (anak) dalam berbagai
aplikasi perilaku dan sikap, seperti dalam hal proses belajar mengajar
(pendidikan) atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu (anak) lainnya secara
luas.
Pengetahuan
sekilas itu diharapkan akan menjadi rujukan kita untuk melakukan konseling pasca
trauma. Penanganan kasus traumatik sangat berbeda dengan kasus-kasus penyakit
fisik biasa atau soal kesulitan belajar individu (anak). Penanganan kasus
traumatik sangat diperlukan sejumlah profesional (orang) yang berkualifikasi,
terlatih, atau berkepribadian yang baik. Demikian juga dalam hal penerapan
metode dan pendekatan, harus berorientasi pada budaya, tradisi, tata nilai dan
moralitas sosial penderita traumatik.
B.
Identifikasi
Masalah
1.
Apa pengertian dari konseling traumatik?
2.
Apa saja penyebab terjadinya konseling traumatik?
3.
Apa saja teknik yang dapat dilakukan dalam
konseling traumatik?
4.
Apa saja keterampilanm dalam konseling traumatik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konseling Traumatik
Konseling
merupakan bantuan yg bersifat terapeutis yg diarahkan untuk mengubah sikap dan
perilaku konseli, dilaksanakan face to face antara konseli dan konselor,
melalui teknik wawancara dengan konseli sehingga dapat terentaskan permasalahan
yang dialaminya.
Trauma
adalah suatu kondisi emosional yang berkembang setelah suatu peristiwa trauma
yang tidak mengenakkan, menyedihkan, menakutkan, mencemaskan dan menjengkelkan,
seperti peristiwa : Pemerkosaan, pertempuran, kekerasan fisik, kecelakaan,
bencana alam dan peristiwa-peristiwa tertentu yang membuat batin tertekan,
misalnya konseli(siswa) yang tidak lulus Ujian Nasional
Trauma
psikis terjadi ketika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang menekan yang
menyebabkan rasa tidak berdaya dan dirasakan mengancam. Reaksi umum terhadap
kejadian dan pengalaman yg traumatis adalah berusaha menghalaukannya dari
kesadaran,namun bayangan kejadian itu tidak bisa dikubur dalam memori.
Seiring
dengan kejadian tersebut konselor sebagai pendidik pada jalur formal yg
bertugas melakukan bimbingan dan konseling di Sekolah bertanggung jawab untuk
dapat membantu peserta didik/ masyarakat/ individu yg mengalami peristiwa
trauma sehingga dapat keluar dari peristiwa trauma.
Konseling
traumatik yaitu konseling yang diselenggarakan dalam rangka membantu konseli
yang mengalami peristiwa traumatik, agar konseli dapat keluar dari peristiwa
traumatik yang pernah dialaminya dan dapat mengambil hikmah dari peristiwa
trauma tersebut.
Konseling
traumatik merupakan kebutuhan mendesak untuk membantu para korban mengatasi
beban psikologis yang diderita akibat bencana gempa dan Tsunami. Guncangan
psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan
sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kestabilan emosi
para korban gempa. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah dalam
menghadapi petaka, bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada
stres berat yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka lupa ingatan atau gila.
Konseling
traumatik dapat membantu para korban bencana menata kestabilan emosinya
sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya meskipun dalam
kondisi yang sulit. Konseling traumatik juga sangat bermanfaat untuk membantu
para korban untuk lebih mampu mengelola emosinya secara benar dan berpikir
realistik.
B. Penyebab Terjadinya Trauma
Secara
umum, kondisi trauma yang dialami individu (anak) disebabkan oleh berbagai
situasi dan kondisi, di antaranya:
- Peristiwa atau kejadian alamiah
(bencana alam), seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin
topan, dsb.
- Pengalaman dikehidupan sosial
ini (psiko-sosial), seperti pola asuh yang salah, ketidak adilan,
penyiksaan (secara fisik atau psikis), teror, kekerasan, perang, dsb.
- Pengalaman langsung atau tidak
langsung, seperti melihat sendiri, mengalami sendiri (langsung) dan
pengalaman orang lain (tidak langsung), dsb.
C. Teknik-Teknik
dalam Konseling Trauma
Peristiwa trauma psikologis yang
pernah dialami seseorang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kondisi semacam ini
perlu diatasi denan tiga tahapan untuk membantu memperbaiki kondisi psikis
seorang individu. Berikut ini tahapan mengatasi trauma psikologis antara lain:
a.
Stabilisasi
Tahapan pertama dalam upaya mengatasi
trauma psikolgogis yang dialami adalah dengan menciptakan rasa aman bagi
individu. Dengan rasa aman individu akan mulai merasa nyaman dan tidak lagi
tertekan dan ketakutan akan bayangan trauma yang pernah dialami.
b. Berbagi
Cerita
Selanjutnya setelah merasa nyaman dan
aman, individu akan bisa mendengar pertanyaan seorang psikiater atau keluarga untuk
menceritakan peristiwa yang mengakibatkan dirinya mengalami semacam trauma
psikologis.
c. Membangun
Kepercayaan
Tahapan ketiga setelah bercerita maka
psikiater atau keluarga mulai tahu awal peristiwa tersebut. Disinilah
diperlukan kembali membangun kepercayaan diri individu bahwa dirinya sangat
berarti untuk semua orang. Ajak juga individu untuk bisa menerima peristiwa
traumanya itu dengan hati lapang tanpa perlu merasakan trauma lagi.
Itulah beberapa tahapan-tahapan yang
akan dilakukan sebagai upaya untuk membantu seorang individu dalam mengatasi
trauma masa lalu yang dialaminya. dan itulah jenis – jenis trauma psikologis
lengkap dengan penyebab dan cara mengatasinya.
D.
Keterampilan
dalam Konseling Trauma
1. Emotional Freedom
Technique (EFT)
Konseling berguna untuk
memunculkan insight yang seharusnya
ditindak lanjuti dengan perilaku coping permasalahannya trauma jika klien
berhasil melakukannya namun hal ini membutuhkan beberapa sesi dan kemauan klien
untuk mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga ketika menghadapi trauma dengan
perasaan emosionalnya maka perlu tahap relaksasi dan pada program ini
menggunakan teknik khusus yang disebut EFT
EFT merupakan teknik akupuntur versi
emosional. Berbeda dengan teknik akupuntur pada umumnya yang menggunakan jarum,
EFT menggunakan tapping (ketukan ringan)
dengan jari di 18 titik meredian tubuh untuk mengatasi hampir semua hambatan
emosi dan fisik. Delapan belas saja? Ya, memang hanya ada 18 titik yang perlu
pelajari dalam EFT. Anda tidak perlu mempelajari 300 titik akupuntur yang
menggunakan jarum. Teknik ini sangat mudah dipelajari dan dapat diterapkan di
mana saja, untuk siapa saja.
Ketika
seseorang mengalami hambatan emosional seperti marah, kecewa, sedih, cemas,
stress, trauma dsb., aliran energi di dalam tubuh yang melalui titik meredian
tubuh akan terganggu. Dan untuk menghilangkan hambatan-hambatan emosi di atas,
kita perlu memperbaiki gangguan aliran di titik meredian dengan cara
mengetukkan jari dengan cara tertentu sesuai teknik EFT.
Untuk melakukan ketukan pada 18 titik
meredian tubuh hanya memerlukan 4 prosedur yang sederhana dan mudah diingat,
yang dinamakan resep dasar (basic recipe).
Prosedur ini dapat digunakan untuk mengatasi hampir semua masalah emosi negatif
dan fisik.
Menurut psikolog Charles Figley,
Ph.D., pendiri Green Cross pada tahun 1995 dan juga tokoh ternama dalam
bidang terapi trauma, mengatakan “Energy Psychology semakin terbukti sebagai
salah satu intervensi psikologis yang terampuh bagi para tenaga ahli yang
membantu korban bencana, maupun bagi tenaga ahli itu sendiri.” Begitu emosi
negatif sudah dapat dihilangkan dengan EFT, maka masalah-masalah fisik mulai
hilang dengan sendirinya seperti amnesia disosiatif, dan imsonia yang
mengiringi stress traumatik.
2. Cognitive Behavior Therapy
CBT digunakan ketika ada distorsi kognitif
dan perilaku penghindaran. CBT dilakukan dengan restrukturisasi kognitif
dan exposure. Klien dengan stress trauma yang
memiliki keyakinan negatif menggunakan Eye Movement Desensitization
and Reprocessing (EMDR). Selanjutnya setelah secara kognitif
tidak ada lagi distorsi kognitif dilanjutkan dengan exposure. Dalam hal ini melibatkan dukungan sosialnya
yaitu teman atau relasi terdekat untuk mendampinginya selama proses tersebut.
3. Telenursing
Setelah EFT dan rangkaian konseling
telah dilakukan, maka masuk pada reentry phase untuk
mengetahui keberhasilan penanganan dengan melihat proses kognitif, emosional
dan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, bertumbuh, berubah dan memiliki
arahan-arahan baru dalam hidupnya. Maka dibutuhkan suatu media untuk
proses penanganan aspek psikologis traumatik yang tidak singkat melainkan
merupakan proses yang relatif panjang. Sehingga perlu dirancang sebuah strategi
penanganan traumatik untuk mengatasi masalah psikologis yang berkelanjutan
dengan menggunakan suatu sistem teknologi modern.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang demikian pesat dalam bidang pendidikan dan kesehatan termasuk
pelayanan keperawatan telah mendorong terciptanya suatu model pelayanan
keperawatan jarak jauh yang lebih dikenal dengan nama telenursing. Telenursing berarti pemberian
perawatan secara berkelajutan untuk klien dan biasanya pada mereka dalam
kondisi kronik (Hardin, 2001). Telenursing meliputi
pengumpulan data klinik pasien dan penggunaan video-imaging untuk
memberikan perawatan berkelanjutan dan edukasi pada klien.
Sistem ini memungkinkan perawat
memberikan informasi dan waktu secara akurat dan dukungan secara online. Perawatan yang berkelanjutan dapat
ditingkatkan dengan memberikan harapan melalui kontak dengan frekuensi yang
sering antara pemberi asuhan perawatan dengan klien.\
Menurut penelitian yang dilakukan
Bohnenkam, et al (2002), bahwa pasien yang menerima perawatan dengan
menggunakan telenursing mengatakan bahwa
pengetahuan mereka meningkat dan merasa lebih nyaman dengan yang disarankan
oleh perawat. Selain itu pengunaan system ini lebih mudah di akses dan mereka
umumnya lebih menyukai telenursingdaripada
harus menunggu untuk kunjungan face to face. Tetapi
mereka masih percaya bahwa face to face adalah
yang terbaik
Dengan
menggunakan media ini akan terkontrol kondisi klien pasca penanganan walaupun
jarak jauh namun tetap terkontrol hasilnya dengan media internet namun tetap
sesuai prosedur.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Konseling traumatik adalah upaya klien dapat memahami
diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya. Yang berusaha untuk
mengatasinya sebaik mungkin. Konseling traumatik berbeda dengan
konseling biasa, yaitu
perbedaanya terletak pada waktu, fokus, aktifitas, dan
tujuan.
B.
Kritik
dan Saran
Jika dalam penulisan ini terdapat
banyak kekurangan seperti penulisan huruf atau ejaan dan sebagainya saya
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif dan membangun karena
pengetahun saya sebagai penulis masih kurang dan juga masih dalam pembelajaran
DAFTAR PUSTAKA
Artikel - Memahami
Trauma dan Penyebabnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar