Jumat, 30 November 2018

KONSELING TRAUMATIK


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia dipermukaan bumi ini, seiring itu pula keberagaman persoalan muncul silih berganti seolah tidak pernah habis-habisnya, seperti konflik, kekerasan, pertumpahan darah, dsb. Itu belum lagi problematika alamiah seperti bencana alam; gempa bumi, tsunami, meletus gunung api, tanah longsor, banjir, badai topan, dsb. Keberagaman peristiwa dan pengalaman yang menakutkan tersebut, selain telah memporak-porandakan kondisi fisik lingkungan hidup, juga merusak ketahanan fungsi mental manusia yang mengalaminya, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam waktu yang singkat dan jangka panjang. Gambaran peristiwa dan pengalaman yang demikian dinamakan dengan trauma.
Berbedanya gejala trauma dalam realitas yang dihadapi manusia perlu ditangani secara bijak oleh para ahli atau masyarakat secara utuh. Karena itu dengan terdeteksinya gejala-gejala awal dari suatu peristiwa trauma, maka akan memudahkan kita dalam upaya pemberian bantuan (konseling) secara baik dan kontinyu. Dalam melakukan konseling traumatik, keberadaan konsep deteksi awal akan menjadi hal yang penting untuk dipahami dan diperhatikan oleh pemberi bantuan sehingga tergambar berbagai sifat atau jenis trauma yang diderita korban, seperti trauma ringan, sedang dan berat. Namun, tidak semua peristiwa atau pengalaman yang dialami manusia itu bermuara pada trauma. Biasanya kejadian dan pengalaman yang buruk, mengerikan, menakutkan atau mengancam keberadaan individu yang bersangkutan, maka kondisi ini akan berisiko memunculkan rasa trauma. Sementara, peristiwa dan pengalaman yang baik atau menyenangkan, orang tidak menganggap itu suatu kondisi yang trauma.
Kondisi trauma (traumatics) biasanya berawal dari keadaan stres yang mendalam dan berlanjut yang tidak dapat diatasi sendiri oleh individu yang mengalaminya. Stres adalah suatu respon/reaksi yang diterima individu dari rangsangan lingkungan sekitar, baik yang berupa keadaan, peristiwa maupun pengalaman–pengalaman, yang menjadi beban pikiran terus menerus dan pada akhirnya bermuara pada trauma. Untuk menanggulangi keberlanjutan trauma sejak kanak-kanak hingga dewasa, kiranya perlu segera dilakukan upaya deteksi dini. Bila keadaan trauma dalam jangka panjang, maka itu merupakan suatu akumulasi dari peristiwa atau pengalaman yang buruk dan memilukan. Dan, konsekuensinya adalah akan menjadi suatu beban psikologis yang amat berat dan mempersulit proses penyesuaian diri seseorang, akan menghambat perkembangan emosi dan sosial individu (anak) dalam berbagai aplikasi perilaku dan sikap, seperti dalam hal proses belajar mengajar (pendidikan) atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu (anak) lainnya secara luas.
Pengetahuan sekilas itu diharapkan akan menjadi rujukan kita untuk melakukan konseling pasca trauma. Penanganan kasus traumatik sangat berbeda dengan kasus-kasus penyakit fisik biasa atau soal kesulitan belajar individu (anak). Penanganan kasus traumatik sangat diperlukan sejumlah profesional (orang) yang berkualifikasi, terlatih, atau berkepribadian yang baik. Demikian juga dalam hal penerapan metode dan pendekatan, harus berorientasi pada budaya, tradisi, tata nilai dan moralitas sosial penderita traumatik.
B.     Identifikasi Masalah
1.      Apa pengertian dari konseling traumatik?
2.      Apa saja penyebab terjadinya konseling traumatik?
3.      Apa saja teknik yang dapat dilakukan dalam konseling traumatik?
4.      Apa saja keterampilanm dalam konseling traumatik?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Konseling Traumatik
Konseling merupakan bantuan yg bersifat terapeutis yg diarahkan untuk mengubah sikap dan perilaku konseli, dilaksanakan face to face antara konseli dan konselor, melalui teknik wawancara dengan konseli sehingga dapat terentaskan permasalahan yang dialaminya.
Trauma adalah suatu kondisi emosional yang berkembang setelah suatu peristiwa trauma yang tidak mengenakkan, menyedihkan, menakutkan, mencemaskan dan menjengkelkan, seperti peristiwa : Pemerkosaan, pertempuran, kekerasan fisik, kecelakaan, bencana alam dan peristiwa-peristiwa tertentu yang membuat batin tertekan, misalnya konseli(siswa) yang tidak lulus Ujian Nasional
Trauma psikis terjadi ketika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang menekan yang menyebabkan rasa tidak berdaya dan dirasakan mengancam. Reaksi umum terhadap kejadian dan pengalaman yg traumatis adalah berusaha menghalaukannya dari kesadaran,namun bayangan kejadian itu tidak bisa dikubur dalam memori.
Seiring dengan kejadian tersebut konselor sebagai pendidik pada jalur formal yg bertugas melakukan bimbingan dan konseling di Sekolah bertanggung jawab untuk dapat membantu peserta didik/ masyarakat/ individu yg mengalami peristiwa trauma sehingga dapat keluar dari peristiwa trauma.
Konseling traumatik yaitu konseling yang diselenggarakan dalam rangka membantu konseli yang mengalami peristiwa traumatik, agar konseli dapat keluar dari peristiwa traumatik yang pernah dialaminya dan dapat mengambil hikmah dari peristiwa trauma tersebut.
Konseling traumatik merupakan kebutuhan mendesak untuk membantu para korban mengatasi beban psikologis yang diderita akibat bencana gempa dan Tsunami. Guncangan psikologis yang dahsyat akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan sanak keluarga, dan kehilangan pekerjaan, bisa memengaruhi kestabilan emosi para korban gempa. Mereka yang tidak kuat mentalnya dan tidak tabah dalam menghadapi petaka, bisa mengalami guncangan jiwa yang dahsyat dan berujung pada stres berat yang sewaktu-waktu bisa menjadikan mereka lupa ingatan atau gila.
Konseling traumatik dapat membantu para korban bencana menata kestabilan emosinya sehingga mereka bisa menerima kenyataan hidup sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konseling traumatik juga sangat bermanfaat untuk membantu para korban untuk lebih mampu mengelola emosinya secara benar dan berpikir realistik.

B.     Penyebab Terjadinya Trauma
Secara umum, kondisi trauma yang dialami individu (anak) disebabkan oleh berbagai situasi dan kondisi, di antaranya:
  1. Peristiwa atau kejadian alamiah (bencana alam), seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin topan, dsb.
  2. Pengalaman dikehidupan sosial ini (psiko-sosial), seperti pola asuh yang salah, ketidak adilan, penyiksaan (secara fisik atau psikis), teror, kekerasan, perang, dsb.
  3. Pengalaman langsung atau tidak langsung, seperti melihat sendiri, mengalami sendiri (langsung) dan pengalaman orang lain (tidak langsung), dsb.

C.    Teknik-Teknik dalam Konseling Trauma
Peristiwa trauma psikologis yang pernah dialami seseorang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kondisi semacam ini perlu diatasi denan tiga tahapan untuk membantu memperbaiki kondisi psikis seorang individu. Berikut ini tahapan mengatasi trauma psikologis antara lain:
a.       Stabilisasi
Tahapan pertama dalam upaya mengatasi trauma psikolgogis yang dialami adalah dengan menciptakan rasa aman bagi individu. Dengan rasa aman individu akan mulai merasa nyaman dan tidak lagi tertekan dan ketakutan akan bayangan trauma yang pernah dialami.
b.      Berbagi Cerita
Selanjutnya setelah merasa nyaman dan aman, individu akan bisa mendengar pertanyaan seorang psikiater atau keluarga untuk menceritakan peristiwa yang mengakibatkan dirinya mengalami semacam trauma psikologis.
c.       Membangun Kepercayaan
Tahapan ketiga setelah bercerita maka psikiater atau keluarga mulai tahu awal peristiwa tersebut. Disinilah diperlukan kembali membangun kepercayaan diri individu bahwa dirinya sangat berarti untuk semua orang. Ajak juga individu untuk bisa menerima peristiwa traumanya itu dengan hati lapang tanpa perlu merasakan trauma lagi.
Itulah beberapa tahapan-tahapan yang akan dilakukan sebagai upaya untuk membantu seorang individu dalam mengatasi trauma masa lalu yang dialaminya. dan itulah jenis – jenis trauma psikologis lengkap dengan penyebab dan cara mengatasinya.
D.    Keterampilan dalam Konseling Trauma
1. Emotional Freedom Technique (EFT)
Konseling berguna untuk memunculkan insight yang seharusnya ditindak lanjuti dengan perilaku coping permasalahannya trauma jika klien berhasil melakukannya namun hal ini membutuhkan beberapa sesi dan kemauan klien untuk mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga ketika menghadapi trauma dengan perasaan emosionalnya maka perlu tahap relaksasi dan pada program ini menggunakan teknik khusus yang disebut EFT
EFT merupakan teknik akupuntur versi emosional. Berbeda dengan teknik akupuntur pada umumnya yang menggunakan jarum, EFT menggunakan tapping (ketukan ringan) dengan jari di 18 titik meredian tubuh untuk mengatasi hampir semua hambatan emosi dan fisik. Delapan belas saja? Ya, memang hanya ada 18 titik yang perlu pelajari dalam EFT. Anda tidak perlu mempelajari 300 titik akupuntur yang menggunakan jarum. Teknik ini sangat mudah dipelajari dan dapat diterapkan di mana saja, untuk siapa saja.
Ketika seseorang mengalami hambatan emosional seperti marah, kecewa, sedih, cemas, stress, trauma dsb., aliran energi di dalam tubuh yang melalui titik meredian tubuh akan terganggu. Dan untuk menghilangkan hambatan-hambatan emosi di atas, kita perlu memperbaiki gangguan aliran di titik meredian dengan cara mengetukkan jari dengan cara tertentu sesuai teknik EFT.
Untuk melakukan ketukan pada 18 titik meredian tubuh hanya memerlukan 4 prosedur yang sederhana dan mudah diingat, yang dinamakan resep dasar (basic recipe). Prosedur ini dapat digunakan untuk mengatasi hampir semua masalah emosi negatif dan fisik.
Menurut psikolog Charles Figley, Ph.D., pendiri Green Cross pada tahun 1995 dan juga tokoh ternama dalam bidang terapi trauma, mengatakan “Energy Psychology semakin terbukti sebagai salah satu intervensi psikologis yang terampuh bagi para tenaga ahli yang membantu korban bencana, maupun bagi tenaga ahli itu sendiri.” Begitu emosi negatif sudah dapat dihilangkan dengan EFT, maka masalah-masalah fisik mulai hilang dengan sendirinya seperti amnesia disosiatif, dan imsonia yang mengiringi stress traumatik.




2. Cognitive Behavior Therapy

CBT digunakan ketika ada distorsi kognitif dan perilaku penghindaran. CBT dilakukan dengan restrukturisasi kognitif dan exposure. Klien dengan stress trauma yang memiliki keyakinan negatif menggunakan Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR). Selanjutnya setelah secara kognitif tidak ada lagi distorsi kognitif dilanjutkan dengan exposure. Dalam hal ini melibatkan dukungan sosialnya yaitu teman atau relasi terdekat untuk mendampinginya selama proses tersebut.

3.      Telenursing

Setelah EFT dan rangkaian konseling telah dilakukan, maka masuk pada reentry phase untuk mengetahui keberhasilan penanganan dengan melihat proses kognitif, emosional dan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, bertumbuh, berubah dan memiliki arahan-arahan baru dalam hidupnya. Maka dibutuhkan suatu media  untuk proses penanganan aspek psikologis traumatik yang tidak singkat melainkan merupakan proses yang relatif panjang. Sehingga perlu dirancang sebuah strategi penanganan traumatik untuk mengatasi masalah psikologis yang berkelanjutan dengan menggunakan suatu sistem teknologi modern.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat dalam bidang pendidikan dan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan telah mendorong terciptanya suatu model pelayanan keperawatan jarak jauh yang lebih dikenal dengan nama telenursing. Telenursing berarti pemberian perawatan secara berkelajutan untuk klien dan biasanya pada mereka dalam kondisi kronik (Hardin, 2001). Telenursing meliputi pengumpulan data klinik pasien dan penggunaan video-imaging untuk memberikan perawatan berkelanjutan dan edukasi pada klien.
Sistem ini memungkinkan perawat memberikan informasi dan waktu secara akurat dan dukungan secara online. Perawatan yang berkelanjutan dapat ditingkatkan dengan memberikan harapan melalui kontak dengan frekuensi yang sering antara pemberi asuhan perawatan dengan klien.\
Menurut penelitian yang dilakukan Bohnenkam, et al (2002), bahwa pasien yang menerima perawatan dengan menggunakan telenursing mengatakan bahwa pengetahuan mereka meningkat dan merasa lebih nyaman dengan yang disarankan oleh perawat. Selain itu pengunaan system ini lebih mudah di akses dan mereka umumnya lebih menyukai telenursingdaripada harus menunggu untuk kunjungan face to face. Tetapi mereka masih percaya bahwa face to face adalah yang terbaik
Dengan menggunakan media ini akan terkontrol kondisi klien pasca penanganan walaupun jarak jauh namun tetap terkontrol hasilnya dengan media internet namun tetap sesuai prosedur.












BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Konseling traumatik adalah upaya klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang dialaminya. Yang berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin.  Konseling traumatik  berbeda dengan konseling biasa, yaitu perbedaanya terletak pada waktu, fokus, aktifitas, dan tujuan.

B.       Kritik dan Saran
Jika dalam penulisan ini terdapat banyak kekurangan seperti penulisan huruf atau ejaan dan sebagainya saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positif dan membangun karena pengetahun saya sebagai penulis masih kurang dan juga masih dalam pembelajaran



















DAFTAR PUSTAKA



Artikel - Memahami Trauma dan Penyebabnya





Tidak ada komentar:

Posting Komentar