A.
Pengertian
Konseling Lintas Budaya
Konseling lintas budaya atau multikultural adalah proses
konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budayanya,
maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi
diversitas budaya, memfasilitasi perhatian pada perbedaan individual. Agar
konselor dapat benar-benar memahami klien, maka harus menyadari bahwa klien
adalah individu yang sangat kompleks dan beragam. Oleh karena itu,
mengkombinasikan faktor budaya dan keragaman sebagai bagian untuk mengerti
adalah hal yang sangat esensial.
Dari pengertian diatas maka konseling lintas budaya terjadi
antara konselor dan klien mempunyai perbedaan dan perbedaan itu bisa mengenai
nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan sebagainya. Sehingga dalam konseling
lintas budaya ini konselor mesti :
1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang
perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda
2. Sadar bahwa tidak ada yang netral secara politik dan
moral
3. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak
tertutup
Berdasarkan pengertian tentang
konseling lintas budaya di atas, aspek-aspek yang harus ada dan diperhatikan
dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:
1. Latar belakang budaya yang dimiliki
oleh konselor
2. Latar belakang budaya yang dimiliki
oleh klien
3. Asumsi-asumsi terhadap masalah yang
dihadapi selama konseling
4. Nilai-nilai yang mempengaruhi
hubungan dalam konseling
B.
PENGERTIAN KONSELING LINTAS BUDAYA
Istilah budaya berasal
dari kata “budaya”yanag berarti “pikiran, akal, budi,adat itiadat,
sesuyi yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”. Kebudayaan
itu sendiri berarti “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kesenian, kepercayaan dan adat istiadat” ( kamus besar bahasa
Indonesia, 1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya
dapt dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat, yang
dijadikan milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, tingkah laku
individu sebgai anggota masyarakat terkaib dengan budaya yang diwujudkan dalam
berbagai pranata. Pranata tersebut berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi
tingkahlaku manusia untuk memenuhi kebutuhanya.
Manusia tidak dapat terlepas dari budaya,
keduanya saling memberikan pengaruh. Pengaruh budaya terhadap kepribadian
individu akan terlihat pada perilaku yang ditampilkan. Bagaimana hubungan
manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji dan dianalisis oleh ilmu
antropologi. Sedangkan bagaimana individu berperilaku akan banyak disoroti dari
sudut tinjauan psikologi. Manusia adalah miniatur kebudayaannya. Oleh karena
itu, tingkah laku manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang
individu itu sendiri, melainkan juga dari sudut pandang budayanya, outside dan
within him (Kneller, 1978). Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta aktif
suatu kelompok sosial, organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai produk,
manusia memiliki ciri-ciri dan tingkah laku yang dipelajari dari konteks
sosialnya. Sebaliknya sebagai pencipta yang aktif manusia juga memberikan
kontribusinya kepada perkembangan budayanya (Ritzer, Kammeyer, dan Yetman,
1979).
Pelayanan konseling hakikatnya
merupakan proses pemberian bantuan dengan penerapkan prinsip-prinsip psikologi.
Secara praktis dalam kegiatan konseling akan terjadi hubungan antara satu
dengan individu lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal ini individu
tersebut berasal dari lingkungan yang berbeda dan memiliki budayanya
masing-masing. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari
adanya keterkaitan unsur-unsur budaya.
Keragaman budaya dapat
menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan komunikasi.
Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu karena
kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik. Sedangkan
bahasa adalah simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan manusia untuk
mengkomunikasikan apa yang dirasakannya dan dipikirkannya. Apabila terjadi
perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-simbol verbal dan nonverbal diantara
dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan timbul persoalan.
Lebih jelas Clemon E. Vontres
mengemukakan bahwa jika konselor dan klien merasakan persamaan budaya meskipun
sebenarnya secara budaya mereka berbeda maka interaksi tersebut tidak boleh
dinamakan konseling lintas budaya. Sebaliknya jika konselor dan klien secara
budaya sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya
dapat dinamakan lintas budaya. Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi
standar adalah interaksi yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana
interaksi dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Jika dalam
interaksi itu dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi
tersebut dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling
lintas budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada
adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek
kebudayaan yang lebih luas.
C.
Unsur-unsur Pokok dalam Konseling Lintas Budaya
Dalam pengkajian isu tentang
budaya, Locke dalam Brown (1988) mengemukakan tiga unsur pokok dalam konseling
lintas budaya, yaitu :
Individu adalah penting dan khas
Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan
budayanya
Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat
nilai dan sikap yang mencerminkan budayanya.
Selanjutnya Brown menyatakan bahwa
keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi oleh
factor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan juga jenis
kelamin. Menurut Sue, faktor-faktor budaya yang berpengaruh
dalam dalam konseling adalah pandangan mengenai sifat hakikat
manusia, orientasi waktu, hubungan dengan alam, dan orientasi tindakan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Clemon E. Vontres dalam dialognya dengan Morris
Jacson mengemukakan bahwa budaya terdiri dari lima lingkaran sosialisasi yang
melingkupi dan mempengaruhi sikap, nilai-nilai dan buhasa. Lima lingkup yang
dimaksud meliputi: interaksi universal (dunia), ekologi nasional (negara),
regional, ras, dan etnis. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi manusia sebagai
individu dalam berbagai bentuk kondisi.
Dari paparan di atas dapat dianalisis
bahwa unsur-unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya
adalah sebagai berikut:
Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur
budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan
hidup, dan sebagainya.
Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari
pengaruh unsure-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari
unsur-unsur tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan
mempengaruhi keberhasilan proses konseling.
D.
Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya
1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor
Khusus dalam menghadapi
klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M.
Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor
professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok
yang dihadapi
Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara
tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang
karakteristik umum konseling dan terapi.
Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi
kepentingan klien
Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan
dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.
2. Sikap Konselor
Para konselor lintas budaya yang
tahu tentang kesamaan humanity harus dapat mengidentifikasi physical sensation
dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor lintas budaya
hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor
perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat
world view klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan
menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan
kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus
menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan
sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut untuk
mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
Dimensi keyakinan dan sikap
Dimensi pengetahuan
Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki
individu
Sementara itu, Rao (1992)
mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau
tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka
konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila
kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau
kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap
netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami
nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.
Selanjutnya, Rao juga
mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Keyakinan
Konselor harus yakin bahwa klien
membicarakan martabat persamaan (hak) dan kepribadiannya. Konselor percaya atas
kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan
kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.
b. Nilai-nilai
Konselor harus bersikap
netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan
standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya. Dalam hal ini konselor
harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan
nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.
c. Penerimaan
Penerimaan konselor menunjukkan
pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi dengan suasana yang menyenangkan.
Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.
d. Pemahaman
Konselor memahami klien secara jelas.
Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu(1) pengetahuan tentang
tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu, (2) memahami kemampuan
intelektual dan kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai dunia
internal individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan
tersebut.
e. Rapport
Konselor menciptakan dan
mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif, agar terjadi
komunikasi konseling yang intensif dan efektif.
f. Empaty
Kemampuan konselor untuk turut
merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.
3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
Isu konselor dalam penyelenggaraan
konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan
konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan
persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:
Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi
budaya, baik akademik maupun pengalaman.
Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama
antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan
mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap
situasi-situasi khusus klien.
Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting
adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan
prasangka-prasangkanya.
Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap
perilaku-perilaku umum.
Aspek-aspek yang harus di kaji melalui diskusi kelompok
Aspek-aspek Budaya
Bahasa
Agama
Kekerabatan
Adat Perkawinan
Sosial Ekonomi
Tata Pergaulan
Tradisi Khusus
2. Permasalahan yang dialami
Permasalahan inter etnis
Permasalahan antar etnis
Permasalahan umum,
DAFTAR PUSTAKA
Aderson J. Donna dan Ann Craston-Gingras. 1991. “Sensitizing
Counselors and Educators to Multicultural Issues : An Interactive Approach”. Journal
of Counseling and Development. 1991. V. 70
Bernard, Hatorld W. & Fullmer, D.W. 1987. Principle of
Guidance. Secon Edition. New York : Harper and Row Publisher.
Brammer, Lawrence M. & Shostrom, E.L. 1982. Thepetic
Psychology : Foundamentals of Counseling and Psychoterapy. New Jersey :
Prentice-Hall.
Brown Duance J. Srebalus David. 1988. An Introduction to the
Counseling Profession. USA : by Allyn & Bacon
Corey, Gerald. 2004. Theory and Practice of Counseling and
Psychotherapy. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.
Jumarlin. 2002. Dasar – Dasar Konseling Lintas Budaya.
Yokyakarta : Pustaka Pelajar
Kneller, G.F. 1978. Educational Anthropology. NewYork:
Robert. F. Krieger
May Rollo.2003. The Art of Counseling. New Jersey : Prentice
Hall, Inc
Pedersen Paul. Walter J. Lonner and Juris G. Draguns. 1980.
Counseling Acroos Culture. USA : by The University Press of Hawaii
Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP
Universitas Negeri Padang
Ritzer, G. :Kramer, K. W. C.:dan Yetman, N.R. 1979.
Sociology:Experiencing A Changing Society. Boston: Allyn and Bacon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar