Jumat, 30 November 2018

KONSELING LINTAS BUDAYA


A.     Pengertian Konseling Lintas Budaya
Konseling lintas budaya atau multikultural adalah proses konseling yang melibatkan antara konselor dan klien yang berbeda budayanya, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, memfasilitasi perhatian pada perbedaan individual. Agar konselor dapat benar-benar memahami klien, maka harus menyadari bahwa klien adalah individu yang sangat kompleks dan beragam. Oleh karena itu, mengkombinasikan faktor budaya dan keragaman sebagai bagian untuk mengerti adalah hal yang sangat esensial.
Dari pengertian diatas maka konseling lintas budaya terjadi antara konselor dan klien mempunyai perbedaan dan perbedaan itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan sebagainya. Sehingga dalam konseling lintas budaya ini konselor mesti :
1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda
2. Sadar bahwa tidak ada yang netral secara politik dan moral
3. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup

Berdasarkan pengertian tentang konseling lintas budaya di atas, aspek-aspek yang harus ada dan diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:
1. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
2. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien
3. Asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama konseling
4. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dalam konseling

B.     PENGERTIAN KONSELING LINTAS BUDAYA

          Istilah budaya berasal dari kata “budaya”yanag berarti “pikiran, akal, budi,adat itiadat, sesuyi yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”. Kebudayaan itu sendiri berarti “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kesenian, kepercayaan dan adat istiadat” ( kamus besar bahasa Indonesia, 1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya dapt dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat, yang dijadikan milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, tingkah laku individu sebgai anggota masyarakat terkaib dengan budaya yang diwujudkan dalam berbagai pranata. Pranata tersebut berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkahlaku manusia untuk memenuhi kebutuhanya.

      Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh. Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku yang ditampilkan. Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji dan dianalisis oleh ilmu antropologi. Sedangkan bagaimana individu berperilaku akan banyak disoroti dari sudut tinjauan psikologi. Manusia adalah miniatur kebudayaannya. Oleh karena itu, tingkah laku manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri, melainkan juga dari sudut pandang budayanya, outside dan within him (Kneller, 1978). Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta aktif suatu kelompok sosial, organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai produk, manusia memiliki ciri-ciri dan tingkah laku yang dipelajari dari konteks sosialnya. Sebaliknya sebagai pencipta yang aktif manusia juga memberikan kontribusinya kepada perkembangan budayanya (Ritzer, Kammeyer, dan Yetman, 1979).

         Pelayanan konseling hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan dengan penerapkan prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan konseling akan terjadi hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal ini individu tersebut berasal dari lingkungan yang berbeda dan memiliki budayanya masing-masing. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur budaya.

        Keragaman budaya dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan komunikasi. Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu karena kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik. Sedangkan bahasa adalah simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan manusia untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakannya dan dipikirkannya. Apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-simbol verbal dan nonverbal diantara dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan timbul persoalan.

       Lebih jelas Clemon E. Vontres mengemukakan bahwa jika konselor dan klien merasakan persamaan budaya meskipun sebenarnya secara budaya mereka berbeda maka interaksi tersebut tidak boleh dinamakan konseling lintas budaya. Sebaliknya jika konselor dan klien secara budaya sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan lintas budaya. Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah interaksi yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Jika dalam interaksi itu dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi tersebut dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling lintas budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.

C.    Unsur-unsur Pokok dalam Konseling Lintas Budaya

       Dalam pengkajian isu tentang budaya, Locke dalam Brown (1988) mengemukakan tiga unsur pokok dalam konseling lintas budaya, yaitu :
Individu adalah penting dan khas
Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya
Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan budayanya.

      Selanjutnya Brown menyatakan bahwa keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi oleh factor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Menurut Sue, faktor-faktor budaya yang berpengaruh dalam dalam konseling adalah pandangan mengenai sifat hakikat manusia, orientasi waktu, hubungan dengan alam, dan orientasi tindakan. Sehubungan dengan hal tersebut, Clemon E. Vontres dalam dialognya dengan Morris Jacson mengemukakan bahwa budaya terdiri dari lima lingkaran sosialisasi yang melingkupi dan mempengaruhi sikap, nilai-nilai dan buhasa. Lima lingkup yang dimaksud meliputi: interaksi universal (dunia), ekologi nasional (negara), regional, ras, dan etnis. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi manusia sebagai individu dalam berbagai bentuk kondisi.

      Dari paparan di atas dapat dianalisis bahwa unsur-unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:
Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan hidup, dan sebagainya.
Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh unsure-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari unsur-unsur tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan mempengaruhi keberhasilan proses konseling.



D.    Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya

1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

         Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Sikap Konselor

       Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
Dimensi keyakinan dan sikap
Dimensi pengetahuan
Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu

          Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

          Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keyakinan
       Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.

b. Nilai-nilai
           Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya. Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.

c. Penerimaan
       Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.

d. Pemahaman
     Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu(1) pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu, (2) memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut.

e. Rapport
       Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.

f. Empaty
       Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.

3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
     Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:
Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.


Aspek-aspek yang harus di kaji melalui diskusi kelompok
Aspek-aspek Budaya

Bahasa
Agama
Kekerabatan
Adat Perkawinan
Sosial Ekonomi
Tata Pergaulan
Tradisi Khusus

     2.  Permasalahan yang dialami
Permasalahan inter etnis
Permasalahan antar etnis
Permasalahan umum,




DAFTAR PUSTAKA


Aderson J. Donna dan Ann Craston-Gingras. 1991. “Sensitizing Counselors and Educators to Multicultural Issues : An Interactive Approach”. Journal of Counseling and Development. 1991. V. 70

Bernard, Hatorld W. & Fullmer, D.W. 1987. Principle of Guidance. Secon Edition. New York : Harper and Row Publisher.

Brammer, Lawrence M. & Shostrom, E.L. 1982. Thepetic Psychology : Foundamentals of Counseling and Psychoterapy. New Jersey : Prentice-Hall.

Brown Duance J. Srebalus David. 1988. An Introduction to the Counseling Profession. USA : by Allyn & Bacon

Corey, Gerald. 2004. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.

Jumarlin. 2002. Dasar – Dasar Konseling Lintas Budaya. Yokyakarta : Pustaka Pelajar

Kneller, G.F. 1978. Educational Anthropology. NewYork: Robert. F. Krieger

May Rollo.2003. The Art of Counseling. New Jersey : Prentice Hall, Inc

Pedersen Paul. Walter J. Lonner and Juris G. Draguns. 1980. Counseling Acroos Culture. USA : by The University Press of Hawaii

Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP Universitas Negeri Padang

Ritzer, G. :Kramer, K. W. C.:dan Yetman, N.R. 1979. Sociology:Experiencing A Changing Society. Boston: Allyn and Bacon


Tidak ada komentar:

Posting Komentar